Walau mengusung tajuk Monokrom, konser tunggal penyanyi pop TULUS di Istora Senayan, Jakarta, Rabu (6/2/2019) malam, sangat kaya warna. Saat menampilkan lebih dari 20 lagunya, TULUS memberi banyak sentuhan menarik selama lebih kurang 2,5 jam itu.
Di beberapa lagu, TULUS seolah memberi interpretasi dan aransemen ulang secara total. Sepertinya dia ingin menghadirkan pendekatan alternatif yang lebih menyegarkan bagi para penggemarnya untuk menikmati tembang-tembang hitsnya.
Sebut saja saat di atas panggung TULUS membawakan dua lagu berjudul ”Jatuh Cinta” dan ”Sewindu”, yang menjadi lebih bernuansa swing jazz, dengan diiringi ensambel musik Big Band lengkap. Lagu ”Sewindu” bahkan terkesan jauh lebih riang dari versi rekamannya yang sudah ringan dan ramah di kuping.
Konser TULUS juga sangat kuat terasa coba menghadirkan nuansa keakraban serta keintiman kepada penggemarnya. Hal itu tampak dari format tata panggung, yang memungkinkan TULUS bergerak mendekati para penontonnya.
Terdapat satu panggung besar tempat TULUS bernyanyi bersama para pemusik ensambel Big Band. Lalu pada bagian panggung lain juga dibangun membentuk akses jalan, yang memungkinkan TULUS berkeliling area dalam Gedung Istora dan menghampiri para penggemarnya yang mendekat.
Walau relatif tak terlalu heboh saat berlari atau bergerak mengitari akses jalan yang tersedia itu, kehadiran Tulus di tengah-tengah kerumunan penontonnya lumayan memberi impresi kedekatan dan nuansa yang lebih intim. Terutama ketika dia mengajak para penonton bernyanyi bersama.
Selain TULUS, beberapa musisi pengiring, termasuk music director yang juga kakak kandungnya, Ari Renaldi, ikut ”berkeliling”. Mereka membawakan beberapa lagu secara akustik dan spontan seolah ”mengamen”, berkeliling menyusuri jalur panggung mendekati ke arah penonton di area festival.
Sejumlah improvisasi yang diwarnai senda gurau juga semakin terasa menyemarakkan lagu-lagu yang dibawakan Tulus. Pada lagu ”Tuan dan Nona Kesepian” dan ”Maha Karya”, TULUS bernyanyi hanya dengan diiringi gitar banjo, ukulele, kontrabas, dan koper kesayangannya, yang oleh sang kakak dijadikan perkusi.
Sepanjang konser tunggalnya itu TULUS juga mewarnai penampilannya dengan beragam tuturan kisah. Baik tentang cerita di balik lagu yang dia ciptakan dan bawakan saat itu maupun kisah perjalanan karier serta keluarganya.
Salah satu kisah mengantar penampilannya membawakan beberapa lagu daerah Minang, tanah kelahirannya, secara medley, yang juga diiringi alat musik tiup tradisional khas Sumatera Barat, saluang. Beberapa lagu itu adalah ”Babendi-bendi”, ”Mudiak Arau”, ”Tak Tong Tong”, dan ”Dindin Badindin”.
”Saya lahir di Bukit Tinggi (Sumatera Barat). Saat masih kecil, saya sangat menikmati perjalanan dengan kendaraan bersama ayah dan ibu. Dahulu dari Bukit Tinggi ke Jakarta perjalanannya sampai 30 jam. Sepanjang jalan saya sering dengar lagu-lagu kegemaran bapak dan ibu saya itu. Saya sangat menikmatinya,” ujar penyanyi bernama lengkap Muhammad Tulus ini beralasan.
Teater Boneka
Warna lain yang tampil meramaikan dalam konser tunggal TULUS kali ini juga tampak dari kehadiran kelompok Papermoon Puppet Theatre asal Yogyakarta. Kolaborasi atraktif di beberapa lagu itu terasa semakin menghidupkan lirik-lirik lagu Tulus, yang memang terkenal punya kedalaman makna dan puitis.
Dalam lagu ”Teman Hidup”, sosok Aba, boneka wayang setinggi 2,5 meter yang dikendalikan beberapa orang dan memiliki tampilan wajah seorang pria tua, berinteraksi dengan TULUS. Pada akhir lagu, Aba, yang oleh TULUS disebut mengingatkannya kepada sosok mendiang sang kakek, memeluknya.
”Aba mengingatkan kepada sosok kakek, yang tak pernah saya temui dalam hidup. Beliau meninggal sebelum saya lahir. Tapi saya yakin Umi dan Aba, nenek dan kakek, bisa melihat saya malam ini. Saya juga berharap lagu ini membuat tak ada lagi teman-teman yang merasa sendirian karena pasti akan selalu ada orang yang menyayangi kalian,” ucap TULUS.
Selain bernyanyi dan berdialog, TULUS dari atas panggung juga mengajak penontonnya untuk terlibat dan membantu aksi gerakan yang digagasnya.
Dua aksi sosial, terkait pelestarian dan hewan gajah sumatera serta penggalangan dana untuk membantu para guru belajar lagi.
Album Monokrom adalah album ketiga TULUS, yang dirilis tahun 2016, menyusul dua album sebelumnya, Tulus (2011) dan Gajah (2014).
Penyanyi yang banyak menulis dan membawakan sendiri lagu-lagunya itu memiliki ciri khas lirik-lirik yang puitis dan kuat bercerita.
Dalam situs resminya, www.situstulus.com, TULUS disebut sebagai musisi Indonesia pertama yang berhasil meraih satu juta pelanggan di layanan digital streaming, Spotify, tempat lagu-lagunya juga didengarkan sebanyak 97,01 juta kali di sana. Sementara di kanal YouTube-nya sendiri, MusikTulus, video-videonya telah disaksikan lebih dari 224 juta kali.
Mulai tahun 2015, Tulus juga mulai merambah pasar musik luar negeri, seperti Negeri Sakura Jepang, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Khusus untuk pasar Jepang, TULUS menggubah lagunya ”Sepatu” ke dalam versi bahasa Jepang. Lagu lain berbahasa sama berjudul ”Natsu Wa Kinu” atau ”Musim Panas Telah Tiba”.
**Artikel diterbitkan di Harian Kompas Edisi Minggu, 10 Februari 2019, ditulis oleh Wisnu Dewabrata dengan judul “Warna-warni Konser Monokrom”, yang bisa diakses di : https://kompas.id/baca/utama/2019/02/10/warna-warni-konser-amonokrom/#utm_source=medsos_twitter&utm_medium=link